Rabu, 18 September 2013

Ukhti, Jangan Kau Titipkan Hati dan Cintamu

 

Ukhti, Jangan Kau Titipkan Hati dan Cintamu


Fitrah manusia, ketika disuruh memilih antara permen yang masih dalam kemasan atau permen yang kemasannya sedikit cedera pasti kita memilih permen yang kemasannya masih utuh. Karena ketika memilih permen yang kemasannya sudah tidak utuh, ada resiko tertentu yang harus kita tanggung. Mungkin saja permen itu sudah masuk angin sehingga kurang baik untuk dikonsumsi, atau mungkin saja permen itu rusak karena perpindahan dari tangan pembeli yang satu ke pembeli lainnya, sehingga ada kemungkinan permen itu mengandung virus atau zat yang kurang baik untuk kesehatan.

Begitupun ketika kita belanja di pasar buah. Tentu saja kita memilih buah yang segar , wangi dan bukan buah yang terlihat kusam dan lebam akibat bekas tangan banyak orang. Kuwini misalkan, ketika kita pegang ternyata sudah tidak padat dan terlihat tanda-tanda bekas pijatan orang, tentu kita akan berpikir beberapa kali untuk membelinya dan ada kemungkinan kita tidak jadi membelinya.

Mungkin kisah di atas ada kaitannya dengan para kaum Adam dan kaum Hawa yang merindukan pasangan hidup dan matinya. Tentu di antara kita sangat merindukan pasangan yang lahir dan batinnya masih terbungkus rapi, tanpa pernah dipamerkan kepada yang bukan muhrimnya dan senantiasa menjaga hatinya dari hal-hal yang Allah haramkan baginya.

Kita merindukan sesuatu, yang belum pernah dilihat dan disaksikan oleh orang lain. Kita mengidamkan yang original, Bukan KW;. Kita mau yang new, bukannya second. Karena kita memilih barang yang second, akan banyak resiko yang harus kita tanggung. Mungkin fisiknya tidak lagi cukup kuat dan semangat untuk berjuang di jalan yang panjang. Mungkin kalau kita memilih barang yang KW banyak kemungkinan negatif yang harus kita terima, seperi tidak tahan lama.

Oleh karenanya, kawan-kawan khususnya kaum Hawa, yuk, kita jaga originalitas lahir dan batin kita. Mari kita hindarkan label second dari diri kita.

Yuk, bungkus aurat kita dengan busana muslimah yang rapi dan syar'i. Cukuplah dia yang Allah halalkan bagi kita yang dapat melihatnya.

Yuk, kita buktikan kita bukan barang KW dengan tidak memberikan hati dan cinta kita kepada orang yang nggak jelas statusnya. Belum tentu ia jadi suami kita. Jadi, untuk apa kita menitipkan hati yang jernih ini padanya. Kenapa bukan kita sendiri saja yang menjaganya, lebih terjamin kebeningannya ketimbang ketika mengatakan "Separuh jiwaku ada padamu akhi". Wah lebai sekali.

Akhirnya, setiap apapun yang kita inginkan dalam diri kita tentu tujuannya adalah ridha Ilahi. Ketika kita menjaga diri dan hati dari kenistaan, sesungguhnya kita sedang berusaha di jalan yang Allah cintai. Dan ketika kita berusaha menapaki jalan itu, maka Allah pun semakin mencintai kita. Dan ketika Allah mencintai kita maka setiap perbuatan gerakan tangan, lidah dan pandangan mata berada dalam penjagaan-Nya.

Semoga kita semua adalah orang-orang yang Allah karuniakan keistiqamahan hati dalam menjaga originalitas lahir dan batin kita untuk kita persembahkan kepada Allah dan kepada orang yang Allah halalkan untuk kita. Aamiin

Ukhti, Kejarlah Cintamu

 

Ukhti, Kejarlah Cintamu


“Jangan hanya mengejar cita-cita, tapi kejarlah cinta kalian juga” pesan guru MTs saya, saat saya dan teman-teman silaturrahmi ke rumah beliau. Bu Guru yang hampir berkepala empat ini ternyata belum menikah. Padahal beliau sudah mapan secara ekonomi dan sudah siap secara lahir dan bathin, secara fisikpun beliau imut. Namun entahlah sampai sekarang beliau belum juga menemukan pendamping hidupnya.

Pesan beliau menyiratkan makna yang mendalam bagi kami yang masih berusia kepala dua. Ada satu pelajaran yang dapat kami petik, yakni bagaimanapun planning kami tentang masa depan dan cita-cita jangan sampai lupa untuk mengejar cinta, menggenapkan separuh agama.

Kadangkala karena terlalu sibuk menuntut ilmu, mengejar cita-cita, mengejar target masa depan seperti planning S1, S2 keluar negeri, jadi PNS atau kerja di lembaga ini dan seterusnya, kita lupa memprioritaskan untuk menikah. Ketika usia sudah menginjak kepala tiga baru sadar kalau usia sudah tak lagi muda, teman-teman sudah mengantarkan anak-anak mereka sekolah, kita lantas ‘iri’ melihatnya.

Mungkin bukan cuman bu guru saya yang mengalami hal seperti ini. Ada beberapa kasus lain yang serupa, bahkan saya juga menemukan seorang akhwat yang usianya sudah 40 tahunan yang saya kira ummahat ternyata belum menikah juga. Dan masih banyak lagi kasus serupa.

Kalau kita hidup di tengah kota seperti Jogja, hal ini menjadi hal yang tak terlalu bermasalah. Karena tak ada yang menuntut, tak ada yang mengkritik kecuali beberapa orang di lingkungan kita yang memang sudah betul-betul mengenal kita yang berani bertanya pada kita, menggoda kita dengan pertanyaan-pertanyaan seputar itu bahkan mereka akan membantu mencarikan.

Tapi, coba kalau kita hidup di desa. Ini akan menjadi permasalahan yang serius. Selain menjadi beban kedua orang tua, hal ini terkesan menjadi ‘aib’ keluarga karena salah satu anggota keluarganya ada yang belum menikah padahal usia sudah kepala tiga bahkan kepala empat.

Dalam sebuah obrolan ringan dengan ayah saya, beliau mengatakan pada saya “Mau kamu sudah lulus kuliah, mau kamu sudah kerja, tapi kalau kamu belum menikah beban ayah belum selesai. Karena menikahkan kamu adalah tugas ayah”. Glekkk!!! Iya juga sih kalau dipikir.

Kata-kata serupa juga sempat diucapkan oleh seorang ibu yang saya temui saat saya mencari oleh-oleh di depan kantor pusat Semen Gresik tempo hari. Beliau punya dua orang anak perempuan. Anak yang kedua seusia dengan saya sedangkan anak pertama alumni IAIN Surabaya. Anak beliau yang pertama usianya sudah 30 tahunan, namun belum juga menemukan jodohnya.

“Saya itu kepikiran sama anak saya. Padahal usianya sudah 30 tahunan tapi belum juga menemukan jodohnya. Makanya adek kalau sudah lulus dan ada calon segera saja. Jangan terlalu banyak pilih seperti anak saya” kata ibu itu. Saya cuman senyum-senyum saja, sambil bilang “inggih, Bu”.

Saudaraku, bicara soal menikah. Apakah kalau kita mau menikah harus sukses dulu? Punya rumah dulu? Kalau menurut saya tidak! Kenapa? Karena iya kalau Allah memberi kesuksesan pada kita dalam usia muda, sehingga kita mapan, mampu beli rumah dan lain-lain. Tapi kalau ternyata Allah memberi kesuksesan pada kita di usia 30 tahunan atau bahkan 40 tahunan? Apa kita harus menunggu usia segitu? Apa kita tega membiarkan orang tua kita terus memikirkan kita? Apa kita tidak ‘iri’ melihat teman-teman yang sudah berkeluarga?

Beberapa hari yang lalu saya mencoba iseng menggoda sahabat saya

“Kapan nyusul Chopid?” sambil menyenggol teman saya yang sedang asyik menikmati hidangan walimahan sahabat saya juga.
“Ga tahu Nung” jawabnya, tangannya masih memegang makanan
“Lho kenapa. Kan sampean sudah ada?”
“Aku pengen sukses dulu. Pengen punya usaha dulu, pengen punya rumah dulu”
Hah? Saya melongo. “Apa ga kelamaan mbak? Iya kalau kita sukses dalam waktu dekat ini? Kalau ternyata Allah memberi kesuksesan di usia 40 tahunan, apa kudu nunggu usia segitu?” saya mencoba berargumen. Teman saya itu diam.
“Yaah kalau kita mau nikah kan butuh moda Nung. Tuh lihat Chopid. Berapa banyak biaya pernikahan yang dikeluarkan. Banyak Nung” katanya.
“Iya juga mbak. Tapi yang penting adalah modal nekad. Terserah acara walimah kayak gimana. Yang penting kan akadnya. Ga mesti harus seperti ini” kami lalu saling diam.

Mungkin kalau teman saya lihat fenomena di atas, dia akan berpikir ulang untuk menunda pernikahan. Karena menikah harus nunggu sukses, ga harus punya banyak modal. Yang penting modal nekat (bonek, bondo nekat hehe). Karena inti dari walimah adalah ijab qobul. Untuk acara walimah, ya semampu kita.


Saudaraku, tentunya kita semua punya planning baik itu jangka pendek maupun jangka panjang. Tapi dari semua planning itu jangan lupa untuk mempriotaskan menikah. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari lantaran kita belum menikah kemudian kita melihat teman-teman kita yang sudah menikah dan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Kalau menurut ilmu kedokteran, usia produktif wanita untuk melahirkan itu antara 20-35 tahun, sedang selebihnya akan lebih riskan bagi rahimnya.

Dan dengan menikah maka kita akan membebaskan ayah atau orang tua kita dari kewajibannya terhadap kita. Karena tugas ayah terhadap anak perempuannya adalah menjaga dan menikahkannya, setelah itu tanggung jawab beralih kepada suami kita. Selain itu dengan menikah maka semua amal kita akan bernilai ibadah, walau hanya sekedar senyum terhadap suami.

Dan tentunya kita tidak mau kan membujang sampai tua? Rasulullah melarang hal ini, dalam haditsnya yang artinya : Dan Sa’ad bin Abu Waqqash ra berkata, “Rasulullah SAW pernah melarang ‘Utsman bin Madh’un membujang dan kalau sekiranya Rasulullah mengijinkannya tentu kami berkebiri”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Saudaraku, walau jodoh sudah ditetapkan oleh-Nya maka jangan menjadikan ini sebagai alibi untuk berpangku tangan menunggu ikhwan datang untuk melamar kita. Tapi jodoh itu ibarat rizki, maka mari kita jemput ia dengan cara yang baik, kita ikhtiarkan ia dengan cara-cara yang baik, seperti minta tolong kepada orang tua, murabbiyah, teman dekat, yang disertai dengan taqorrub ilallah, memperbanyak ibadah, sedekah (terutama pada kaum dhuafa’) minta didoakan sama mereka karena doa kaum dhuafa’ biasanya maqbul. Selebihnya kita serahkan semuanya kepada-Nya.

Maafkan Aku Jika Belum Bisa Bilang Cinta

 

Maafkan Aku Jika Belum Bisa Bilang Cinta 


“Mencintai adalah kesiapan untuk memberi”
[Serial Cinta - Ust. Anis Matta]

“Afwan... seandainya ana bisa mencintai anti sepenuh hati,“ gadis cantik yang ada di depanku ketika itu makin deras mengucurkan air mata.
“Jadi… selama ini…??” ucapnya terbata. Tanpa sadar aku melukainya, membuat bahunya tambah berguncang hebat.
“Ana tak bisa bilang cinta… itu resikonya terlampau berat… sedang ana belum melakukan apapun untuk anti… ana belum pernah berkorban sekuat tenaga untuk membantu meringankan setiap beban anti… bahkan dalam setiap sujud belum sekalipun menyebut nama anti dan mengucapkan doa tulus khusus untuk anti… afwan ana harus jujur…” demikian panjang dan lebar aku menjelaskan. Meski, pada akhir pertemuan ada penyesalan yang begitu menyesakkan. Semoga tak pernah terulang di masa depan.

Mencintai adalah sebuah keputusan besar. Demikian kata ust. Anis Matta, di buku Serial Cinta yang belum pernah bosan berulang-ulang kubaca. Beliau mengatakan cinta adalah kata lain dari memberi… sebab memberi adalah pekerjaan… sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat… sebab pekerjaan itu harus ditunaikan dalam waktu yang lama… dan pekerjaan berat yang harus ditunaikan dalam waktu yang lama itu hanya mungkin dilakukan oleh orang- orang yang berkepribadian kuat dan tangguh.

Maka beliau mengingatkan, berhati-hatilah saat mengatakan “Aku mencintaimu “. Kepada siapapun. Beliau mengatakan “Aku mencintaimu” adalah ungkapan lain dari “Aku ingin memberimu sesuatu”. Itulah yang sedikit banyak menggerakkanku untuk menata ulang kebiasaan lama yang pernah dengan mudah sering mengatakan “Uhibbukum fillah… aku mencintai antum saudari-saudari ku…”

Aku menginsyafi diri ternyata lebih sering ungkapanku hanya sekedar kata. Sebab jika meraba hati rupanya belum banyak yang kulakukan untuk membuktikan cinta pada saudara-saudaraku seiman. Pada saudara-saudaraku sepergerakan. Pada mad’u yang pernah kupegang. Pada siapapun. Karena ungkapan cintaku  butuh pembuktian. Sebab jika tak ada pembuktian, integritas diri bakal menghilang. Tak salah jika akan lenyap rasa kepercayaan. Dan tak ada cinta tanpa kepercayaan.

Mencintai adalah kesiapan untuk memberi. Memberi pertolongan maksimal saat saudara-saudaraku membutuhkan. Dengan ide, tenaga dan isi kantong jika perlu. Memberi pundak untuk bersandar jika mereka mulai merasa lelah dengan segala beban. Memberi pelukan hangat saat mereka butuh untuk dikuatkan. Memberi senyuman semangat meski kadang batin juga sedang terguncang hebat. Memberi kualitas pertemuan terbaik di sela kepadatan jadwal masing-masing. Tak lupa pula, memberi doa terindah dalam sepi di setiap sujud panjang di hadapan Rabb kita. Demikian sederet pembuktian yang mungkin bisa dilakukan saat aku mengatakan pada mereka “Uhibbukum fillah”. Tak pantas kiranya jika aku hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun.

Itu yang pada akhirnya membuatku lebih berhati-hati untuk tidak mengumbar deklarasi cinta belakangan ini. Aku menggantinya dengan “I’ll try to love you…hardly”. Dengan harapan, aku berazzam untuk tidak berhenti berusaha mencintai saudara-saudara seiman dengan sepenuh hati. Dan yang terpenting, mencintai mereka dengan sepenuh bukti.

Hingga besar harapan termasuk golongan yang disebut dalam sabda Sang Nabi ini.
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan Syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan : “Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka. Nabinya menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka tidak takut di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih.”.

Sinyal Cinta



Ketika Akhwat Terperangkap Sinyal Cinta

“...rasa nyaman terkadang membuat orang berhenti meniti takdir terindah…”
[Sarwo Widodo Arachnida]

Akhwat itu susah Move On… itu kesimpulan instan yang saya dapatkan. Meski sejatinya tidak semuanya begitu. Miris memang, tapi itu kenyataan. Setidaknya itu yang saya temukan. Tak percaya…? Mungkin kisah ini bisa bisa jadi sebagian bukti.

Kisah Pertama

Terjadi saat pembinaan tarbawi yang sudah diakhiri, menghangat kembali akibat tema “Kapan Datangnya Belahan Hati”.

“Sudahlah…saya percaya…jodoh itu pasti datang…saat hati sudah ikhlas dan merelakan sosok dambaan yang tak bisa didapatkan…” cetus si mad’u yang ada di hadapannya tanpa beban sambil mengangkat ransel hendak melangkah pergi

“Astaghfirullah…berarti hingga detik ini anti belum ikhlas…?” Sang Murobbiyah tiba-tiba menyahut dengan nada tegas.

“He…he…he…” dengan lugu si Mad’u menjawab dengan tertawa basi.

Tanpa sadar ia duduk kembali, urung untuk melangkah pergi.

“Ck…ck…ck… istighfar ukhti…segera bersihkan hati…” suara Sang Murobbiyah merendah kembali

“Bisa jadi itu sebabnya… data anti selalu kembali…setiap kali ana berikhtiar untuk anti belakangan ini…” lanjut beliau dengan nada sedih.

“Sebaiknya jangan diteruskan seperti ini…anti menyakiti diri sendiri… anti menyakiti orang yang menyayangi anti… segera ditata kembali hatinya… ikhlaskan semuanya… semoga akan ada takdir indah yang mengiringinya ” tutur Sang Murobbiyah kembali menasehati.

Tanpa sadar air mata si Mad’u mulai meleleh…ia begitu dihinggapi rasa bersalah.

Kisah Kedua

“Ana ndak bisa mbak… apa yang harus ana lakukan…” ujar ukhti Solihah lewat sebuah pesan singkat di HP nya.

“Ana susah mengawali sesuatu… dan ketika sudah nyaman… ana takut mencoba yang baru… ibarat sebuah tempat… saya takut untuk melangkah pergi… jujur mbak “beliau” masih tersimpan rapi di hati” lanjut ukhti Solihah makin sendu.

“Ikhlaskan hati dhek… menikah itu tak cukup hanya dengan jatuh cinta… saat anti mampu berusaha bangun cinta… InsyaAllah akan lebih indah… terlebih lagi lebih berkah… Allah slalu punya pilihan yang terbaik” dengan berusaha sebijak mungkin “Mbak”nya memberi jawaban balasan.

Ini sudah sekian kali… sudah hampir proses ketiga yang ukhti Solihah jalani dan masalahnya masih sama. Ia merasa belum mampu “pindah” ke lain hati. Sedang “yang dinanti” merasa masih belum siap tanpa batas waktu yang pasti. Padahal pihak keluarga sudah tak sabar lagi. Dilema melanda, itu sudah pasti.
***

Begitulah akhwat… mereka sebagaimana wanita pada umumnya. Mereka terlalu “setia” dengan perasaanya. Sebuah artikel di dunia maya menyebutkan, pada dasarnya wanita adalah sosok yang sangat setia, kesetiaan mereka terkadang tidak dibalas setimpal oleh laki-laki, tentunya sangat menyakitkan bagi seorang wanita, tapi itulah wanita walau sering disakiti tapi mereka tetap berusaha mempertahankan hubungan dengan mengutamakan kesetiaan. Saat wanita mengalami “tragedi cinta” mereka kebanyakan membutuhkan “waktu berkabung” yang lebih lama. Seorang Konselor percintaan Dr. Rajan Bhonsle mengemukakan, hal itu bisa jadi benar dengan alasan wanita merupakan makhluk yang emosional.

"Bagi kebanyakan wanita, jatuh cinta adalah proses yang perlahan dan bertahap. Ketertarikan wanita kepada pria terbentuk dalam waktu yang lama seiring dia mulai mencintai, mengenali dan memahami lawan jenisnya. Dia memupuk perasaan cintanya, itulah sebabnya kegagalan percintaan atau perselingkuhan lebih menyakitkan bagi wanita," urai Dr. Raja

Sedangkan pakar yang lain mengemukakan hal yang sedikit berbeda, psikoterapis Dr. Reema Shah yang menyatakan bahwa urusan perasaan tidak bisa digeneralisasikan. Dr. Reema berargumen, perbedaan cara pria dan wanita dalam mengatasi masalah percintaan bukan karena gender, tapi lebih kepada kondisi sosial.

"Wanita bersikap demonstratif karena ada semacam persetujuan sosial yang 'membolehkan' mereka lebih terbuka secara emosional. Karena ekspresinya terlihat, orang jadi berpikir kalau wanita lebih sulit melupakan sakit hati," ujarnya.

Argumentasi kedua pakar tersebut makin mengamini jika realitas yang ada menunjukkan bahwa mayoritas wanita memang lebih memilih untuk berlama-lama dalam “derita” cintanya.

Maka teruntuk para kaum adam apapun sebutannya, mau yang ngakunya ikhwan atau bukan, sebaiknya tidak coba–coba mengetuk pintu hati wanita manapun dengan mengirimkan sinyal-sinyal cinta atau menanamkan benih cinta jika memang tidak dan belum sanggup membingkai cinta yang coba ditawarkannya dengan tanggung jawab. Tanggung jawab yang dimaksud adalah pernikahan. Mencintai berati menikahi. Itu prinsipnya. Tegas dan jelas.

Islam tidak memungkiri naluri dan fitrah insani dalam hal kecondongan terhadap lawan jenis. Allah berfirman,

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imron : 14)

Dan jalan terbaik untuk mengelola naluri tersebut sudah ditunjukkan Allah pula dalam kitab-Nya.

Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An Nuur : 32)

Namun apabila merasa belum sanggup memilih solusi yang Allah tunjukkan, Dia menunjukkan alternatif pilihan yang lain yakni,

"Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya." (QS. An Nuur : 33)

Disebutkan pula di ayat yang lain,

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".(QS. An Nuur : 30)

Tak hanya kaum Adam, wanita pun dianjurkan melakukan hal yang sama.

Katakanlah kepada para wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) terlihat……. (QS. An Nuur : 31)

Pilihan-pilihan sudah disediakan. Maka, bila melanggar batasan yang ada Allah telah mengingatkan,

“Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra : 32)

Aturan Islam sudah jelas. Pada akhirnya berpulang pada diri masing–masing pilihan mana yang hendak diambil. Tentu sebagai insan yang tercerahkan oleh cahaya iman, semua tentu paham adalah kurang ahsan jika tindakan yang dilakukan akan menimbulkan kesusahan pada saudara seiman. Nasehat ini terutama bagi kaum Adam, jangan sampai karena sikap “kurang bertanggung jawab”nya menyebabkan saudaranya “menderita” berkepanjangan. Sebaliknya pula bagi kaum wanita, tak patut pula kiranya jika berlama-lama dan merasa nyaman dengan “derita cinta” sebab bisa jadi takdir terindah yang telah Allah siapkan jadi tertunda karenanya. So try to Move On girls…...!!!

Jumat, 06 September 2013

Dosa


Assalamu'alaikum ukhti akhi :)

SEMUA manusia pernah berdosa. Tidak seorang pun yang luput dari kesalahan. Besar ataupunkecil. Sengaja atau tidak disengaja. Sebab, fitrah manusia adalah tempat salah dan lupa. Tidak ada manusia yang maksum, kecuali Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam yang dosanya telah diampuni dan dijamin surga. Hal itu tidak lain karena Allah telah memberikan dua potensi dasar kepada manusia: fujur (negatif) dan taqwa (positif). Hal itu pula yang menyebabkan fluktuasi iman dan bahkan cenderung kepada salah satunya yang bakal menentukan posisinya di akhirat : neraka atau surga.Lebih dari itu, syetan tidak pernah henti menggoda dan menjerumuskan manusia ke lembah nista. Armadanya datang dari segala penjuru: depan, belakang, dan samping. Berbagai macam ranjau dan jebakan dipasang. Daya ledaknya pun luar biasa. Isi dunia dipercantik agar manusia terlena. Tak jarang manusia yang tergoda hingga terjerumus ke dalam tipu dayanya yang semu. Namun, meski manusia bergelimang dosa, Allah telah menyediakan ampunan-Nya yang tak terbatas. Pintu tobatnya selalu terbuka lebar. Meski dosa manusia seluas samudera dan setinggi gunung. Allah akan tetap mengampuninya.
Ia sangat senang kepada hamba-Nya yang berdosa lalu datang kepada-Nya dan ber-istighfar seraya bertobat. Senang-Nya itu bahkan melebihi seorang ayah yang menemukan anaknya yang telah lama hilang. Allah sengaja tidak menciptakan manusia bersih dari segala dosa. Sebab, hidup adalah ujian yang telah didesain sedemikian rupa. Hal itu untuk mengetahui siapakah di antara hamba-hamba-Nya yang lolos ujian dan kelak, di akhirat, berhak menggondol rapor dari tangan kanan. Karena itu, jika ada sekelompok manusia yang tidak pernah berdosa di muka bumi ini, maka Allah akan memusnahkannya dan menggantinya. Hal itu senada dengan hadits yang diriwayatkan Muslim.
“Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, jika kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan memusnahkan kalian dan akan menggantinya dengan kaum pendosa lalu mereka memohon ampunan kepada Allah dan Allah pun mengampuni dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim).
Kendati begitu, tidak menjadi alasan bagi kita untuk menumpuk dosa dan mengulur tobat dengan alasan karena Allah Maha Penerima tobat. Janganlah berfikir mumpung masih hidup. Mumpung masih muda. Mumpung masih berlimpah harta. Mumpung masih banyak waktu, lantas asyik masyuk bergelimang dosa dan lupa tobat. Sebab, tak seorang pun tahu kapan usianya akan tutup. Bisa detik ini. Bisa hari ini. Bisa lusa. Bisa bulan depan. Atau bahkan bisa tahun depan. Tak mengenal usia, waktu, dan tempat. Sebab, jika ajal telah keluar dari raga, maka pintu toba telah ditutup rapat. Penyesalan terlambat. Yang ada hanya derita sepanjang masa di akhirat.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan ‘Aku meminta ampunan kepada Allah, tidak ada tuhan kecuali Dia, yang hidup dan berdiri sendiri, mengatur makhluk-Nya dan aku bertaubat kepada-Nya.’ Maka dosanya akan diampuni meskipun ia pernah melarikan diri dari medang perang.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi dan Al Hakim).
Karena itu, tak ada alasan untuk tidak ber-istighfar dan bertobat. Sebesar apapun dosa dan keselahan yang diperbuat. Setiap hari, setiap saat dan di manapun bibir kita harus senantiasa basah dengan istighfar. Jangan sampai dosa yang diperbuat tidak di-istighfari lalu menumpuk sehingga hati menjadi keras dan gelap dari cahaya dan hidayah Allah. Janganlah menyepelekan dosa yang kecil yang kerap dilakukan setiap hari. Jangalah melihat kuantitas dosa yang diperbuat. Tapi, lihatlah kepada siapa kita bermaksiat. Rasulullah saja yang telah dijamin surga, setiap hari lisanya tak pernah alpa dari istighfar. Seperti yang termaktub dalam hadits Bukhori berikut.
“Aku pernah mendengar Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Demi Allah, sesungguhnya aku biasa memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhori).Kita dengan Rasulullah tentu sangat jauh berbeda. Tidak bisa dibandingkan. Ibadah beliau sempurna. Akhlak beliau al Quran. Perkataan dan tindak tanduk beliau mulia. Beliau maksum dan dijamin surga. Namun, meski demikian, beliau masih bersusah payah untuk beristighfar kepada Allah. Sedangkan kita? Dosa yang kita perbuat tentu amat banyak. Terlebih di akhir jaman yang penuh fitnah dan jerat tipu daya syetan durjana. Hampir di seluruh medium di dunia ini mengundang dosa. Di TV, di internet, di jalan-jalan, dan di berbagai medium lainnya yang berkontribusi kepada dosa.
Karena itu, sudah seharusnya intensitas dan kuantitas istighfar kita kepada Allah jauh lebih besar. Apalagi, kita tidak memiliki garansi dan tiket masuk surga sebagaimana Nabi Muhammad. Meski begitu, kita dilarang berputus asa dari maghfirah dan rahmat Allah. Allah senantiasa membuka pintu maghfirah-Nya lebar-lebar.
وَمَن يَعْمَلْ سُوءاً أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّهَ يَجِدِ اللّهَ غَفُوراً رَّحِيماً“
“Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”(Q.S. An Nisa  :110)
Selaksa faedah.Istighfar secara harfiah artinya memohon ampunan. Ampunan Allah Ta’ala dapat diraih dengan istighfar yang diucapkan dengan tulus dan ikhlas serta diiringi pertobatan yang dalam. Tak ada yang bisa menjamin manusia bersih dari dosa. Karena itu, Allah menganjurkan hamba-Nya untuk senantiasa beristighfar atas segala kesalahan dan dosa yang diperbuat. Istighfar memiliki banyak faedah. Tidak saja di dunia, namun juga di akhirat. Di antaranya, istighfar bisa menghapus dosa sebagaimana api yang melahap kayu hingga habis.
Selain itu, istihgfar juga bisa mengangkat azab. Sebab, dosa yang dilakukan manusia, baik secara individu maupun kolektif bisa mengundang azab dan murka Allah Ta’ala. Karena itu, salah satu cara mengangkat azab itu dengan istighfar. Sebagaimana yang termaktub dalam al Quran surah Al Anfal 33. وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun (istighfar).” (QS. Al-Anfaal: 33).
Orang yang beristighfar hidupnya akan merasa aman, damai, dan selalu diliputi ketenangan jiwa. Sebab, hidupnya akan terarah dan merasa diawasi oleh sang Khaliq. Karena itu, jiwanya akan selalu takut jika berbuat salah dan dosa. Ia akan selalu kembali dan meninggalkan dosa yang telah diperbuat (QS: Huud 3).
Istighfar juga memiliki faedah lainnya. Efeknya tidak saja individual yang ditandai dengan diampuninya dosa, tapi juga bisa bisa menjadi sebab turunya hujan. Sebagaimana yang dikatakan Allah dalam QS Nuh: 10-11. Karena itu, bila suatu negeri dilanda kekeringan dan kemarau panjang karena dosa kolektif yang menumpuk dan tidak pernah di-istighfari. Terakhir, istighfar akan menghilangkan kesusahan, gundah gulana, dan mengundang terbukanya pintu rezeki. Sebagaimana yang tertera dalam kitab Riyadhus Shalihin dalam hadits riwayat Abu Dawud dijelaskan, “Barangsiapa yang terbiasa istighfar, Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar dari setiap kesempitan dan kesusahannya, dan diberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
Istighfar adalah perbuatan simpel dan mudah untuk dilakukan. Tidak terlalu butuh tenaga ekstra dan waktu khusus. Di rumah, di pasar, di kantor, dan di masjid. Waktu berbaring, duduk, dan mengendara mobil. Istighfar bisa dilakukan. Namun, faktanya, kita sering alpa. Padahal, dengan istighfar yang tulus, dosa kita akan diampuni dan juga mengundang selaksa faedah lainnya. Oleh karena itu, mari perbanyak istighfar.
اللهم اغفرلي ,اللهم ارحمني ,أستغفر الله و أ تبو إ ليه
“Ya Allah, ampuni dan rahmatilah aku. Aku meminta ampunan dan bertaubat kepada Allah.” 

Semoga bermanfaat cukup sekian dan terimakasih :)
Akhir kata Wabilahitaufik Walhidayah Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Hijab

Assalamu'aaikum Warahmatullahi Wabarakatuh wahai ukhti yang dirindukan surga :)

Saya mau sedikit berbagi info tentang hijab, yuk disimak


     Allah telah mewajibkan hijab atas setiap wanita demi melindungi kesuciannya dan menjaga kehormatannya serta menjadi pertanda bagi keimanannya. Oleh karena itu masyarakat yang jauh dari manhaj Allah dan menyimpang dari jalan-Nya yang lurus adalah masyarakat yang sakit, memerlukan pengobatan yang dapat mengantarkannya kepada kesembuhan dan kebahagiaan. Diantara bentuk penyakit yang sangat menyedihkan adalah tersebarnya fenomena sufur (keberadaan wanita keluyuran diluar rumah) dan tabarruj (terbukanya aurat wanita, rambut, leher, wajah, lengan, kaki dan segala perhiasan dan dandanannya). Sangat disayangkan, fenomena tidak sehat ini telah menjadi ciri khas masyarkat Islam, meskipun pakaian islami masih tersebar didalamnya. Maka pertanyaannya adalah: mengapa masyarakat sampai pada penyimpangan seperti ini? Mengapa kaum muslimah memilih untuk tidak berhijab, menutup aurat dan melindungi harga diri, kesucian dan kehormatan?
            Berikut ini kesepuluh alasan mereka beserta tanggapannya.
Alasan pertama. Kelompok pertama mengatakan, `Saya belum yakin dengan hijab.`
Maka kita ajukan dua pertanyaan:
Pertama: Apakah mereka secara mendasar telah yakin dengan keberadaan Islam? Jawabannya pasti “Ya”, karena ia mengucapkan لا إله إلا الله. Ini berarti mereka telah yakin dengan aqidah Islam. Dan mereka juga telah mengucapkan محمد رسول الله, ini berarti mereka telah yakin dengan syariat Islam. Jadi mereka telah menerima syariat Islam sebagai aqidah, syariat dan jalan hidup.
Kedua: Apakah hijab termasuk bagian dari syariat Islam dan kewajibannya?
Seandainya mereka ikhlas dan mencari kebenaran dalam masalah ini tentu mereka akan mengatakan “Ya”, karena Allah yang kita imani sebagai satu-satunya sesembahan yang benar telah memerintahkan hijab didalam kitab suci-Nya, dan Rasul shalallahu alaihi wasallam yang kita imani sebagai utusan Allah telah memerintahkan hijab didalam sunnahnya.
Alasan kedua. Wanita kedua mengatakan: “Saya telah yakin dan menerima kewajiban syariat hijab, akan tetapi ibu saya melarang saya untuk memakainya, kalau saya mendurhakainya pasti saya masuk neraka.”
Alasan ini telah dijawab oleh makhluk Allah yang paling mulia yaitu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam ungkapannya yang sangat singkat dan bijak:
« لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ »
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal mendurhakai sang pencipta.”
Kedudukan kedua orang tua terutama ibu adalah sangat tinggi dan luhur, bahkan Allah menyandingkannya dengan perkara yang paling agung yaitu ibadah menyembah kepada-Nya dan bertauhid kepada-Nya, dalam banyak ayat sebagaimana firman Allah:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak.” (al-Nisa`: 36)
Jadi taat kepada kedua orangtua tidak dibatasi oleh apapun kecuali satu hal yaitu jika keduanya memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلىَ أَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti kedunya.” (Luqman: 15)
Dan ketidak taatan kepada keduanya dalam hal maksiat tidak menjadi penghalang bagi anak untuk berbuat baik kepada keduanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَصَاحِبْهُمَا فِيْ الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا
“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)
Alasan ketiga. Wanita ketiga mengatakan: “Udara panas di negeri kami, saya tidak tahan, bagaimana jika saya memakai hijab?!
Kepada orang-orang seperti ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُوْنَ
“Katakanlah: “Api nereka Jahannam itu lebih sangat panas(nya) jikalau mereka mengetahui.” (At-Taubah: 81)
Bagaimana bila engkau bayangkan antara panasnya negerimu dengan panasnya api jahannam?
Ketahuilah bawa setan telah membelitmu dengan salah satu tipu dayanya yang rapuh agar kamu terbebas dari panasnya dunia menuju panasnya neraka. Selamatkanlah dirimu dari jerat-jerat setan, jadikanlah teriknya matahari sebagai nikmat bukan sebagai siksa, karena ia mengingatkanmu kepada dahsyatnya adzab Allah pada hari dimana panasnya melebihi penasnya dunia dengan berlipat-lipat ganda.
Alasan keempat. Wanita keempat mengatakan: “Saya takut bila saya berhijab sekarang maka suatu saat nanti saya akan melepaskannya sebab saya melihat banyak yang melakukan seperti itu.”
Kepadanya kita katakan: “Seandainya semua manusia berfikir dengan logika seperti ini tentu mereka meninggalkan agama ini secara total, tentu mereka telah meninggalkan shalat, karena sebagian mereka khawatir meninggalkannya. Tentu mereka juga tidak mau berpuasa karena banyak dari mereka khawatir jika suatu saat akan meninggalkannya … dst. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana sekali lagi setan menjeratmu dengan jaring-jaringnya yang rapuh agar kamu meninggalkan cahaya hidayah? Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling langgeng meskipun sedikit.” Mengapa engkau tidak mencari faktor-faktor yang membuat mereka itu menanggalkan hijabnya, supaya engkau dapat mengatasi dan menanggulanginya?”
Alasan kelima. Wanita kelima mengatakan: “Saya khawatir, jika saya mengenakan pakaian syar`i, saya akan dicap sebagai kelompok tertentu, sedangkan saya tidak suka tahazzub (berpecah belah atas dasar fanatisme golongan).”Sesungguhya didalam Islam itu hanya ada dua hizib (kelompok) tidak ada yang lain. Keduanya disebutkan oleh Allah didalam kitab sucinya. Hizib pertama disebut dengan hizbullah. Yaitu orang yang ditolong oleh Allah kerena ia mentaati perintah-perintah-Nya dan manjauhi larangan-larangan-Nya. Kelompok kedua disebut hizbusysyaithon yaitu orang yang mendurhakai Allah, mentaati setan dan banyak berbuat kerusakan dimuka bumi. Ketika engkau mematuhi perintah Allah yang diantaranya adalah hijab maka engkau tergabung dalam hizbullah yang beruntung. Dan ketika engkau bertabarruj menampakkan kecantikanmu maka engkau suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar telah naik diatas perahu setan bersama rombongan mereka dari kelompok munafiqin dan kuffar. Sungguh mereka adalah seburuk-buruk teman.
Alasan keenam. Wanita keenam mengatakan: “Ada yang mengatakan kepada saya: “JIka kamu berhijab maka tidak ada laki-laki yang menikahimu.” Oleh karena itu saya tanggalkan dulu masalah hijab ini hingga saya menikah.”
Ukhti, sesungguhnya suami yang menginginkanmu keluar rumah dengan membuka aurat, dan bermaksiat kepada Allah adalah suami yang tidak layak untukmu, suami yang tidak cemburu atas kehormatan Allah, tidak cemburu atas dirimu, dan tidak menolongmu untuk dapat memasuki surga dan selamat dari neraka.
Sesungguhnya rumah tangga yang dibangun diatas dasar maksiat kepada Allah dan diatas kemurkaan-Nya adalah pantas bagi Allah untuk menulisnya sebagai keluarga yang sengsara di dunia dan akhirat. Sebagaimana firman Allah :
وَمَنْ أعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yag sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha: 124)
Setelah itu, sesungguhnya pernikahan itu adalah nikmat dari Allah yang dianugerahkan kepada siapapun yang Dia kehendaki, betapa banyak wanita berhijab yang menikah, betapa banyak wanita yang safirah (sering keluar rumah) mutabarrijah (membuka aurat, kecantikannya) tidak menikah. Apabila kamu mengatakan, bahwa sufurku dan tabarrujku adalah sarana bagi tujuan yang suci yaitu pernikahan, maka tujuan yang suci tidak menghalalkan cara-cara yang rusak dan maksiat dalam Islam. Apabila tujuan mulia maka saranapun harus mulia karena kaedah dalam Islam:
الْوَسَائِلُ لَهَا حُكْمُ الْمَقَاصِدِ :
“Washilah (sarana) itu memiliki hukum seperti hukum maksud (tujuan)
Alasan ketujuh. Wanita ketujuh mengatakan: Saya mengetahui bahwa hijab itu wajib, akan tetapi saya akan komitmen dengannya setelah Allah memberikan hidayah nanti.” Tanyakan kepada ukhti ini, apa langkah-langkah yang ia tempuh agar mendapatkan hidayah dari Allah ini?! Kita mengetahui bahwa Allah I menjadikan segala sesuatu itu ada sebabnya. Oleh karena itu orang yang sakit minum obat supaya sembuh, seorang musafir naik kereta atau kendaraan supaya sampai ketempat tujuan dst. Apakah ukhti ini benar-benar jujur telah mengikuti jalan hidayah dan mengerahkan kemampuannya untuk sebab-sebab yang dapat mengantarkan kepada hidayah? Seperti berdo`a kepada Allah secara ikhlash sebagaimana firman Allah:
إاِهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيْمَ
“Tujukilah kami kepada jalan lurus.” (Al-Fatihah: 6)
Seperti berteman dengan wanita-wantia shalihah, kerena mereka adalah sebaik-baik penolong untuk mendapatkan hidayah dan mempertahankannya, sehingga ia betul-betul komitmen dengan perintah-perintah Allah, dan memakai hijab yang diperintahkan oleh Allah kepada wanita-wanita beriman.
Alasan kedelapan. “Wanita kedelapan mengatakan: “Belum waktunya saya memakai hijab, karena saya masih kecil, nanti kalau saya sudah besar dan sudah haji saya akan berhijab.” Ketahuilah ada satu malaikat yang berdiri didepan pintumu sedang menunggu perintah Allah. Dia akan bertindak cepat dan tepat kapan saja dari detik-detik kehidupanmu jika ketentuan Allah telah tiba.
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ
“Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya.” (al-A`raf: 34)
Kemudian tidak pandang bulu, besar ataupun kecil. Bisa saja ajal menjemputmu ketika kamu masih bermaksiat kepada Allah dengan maksiat besar seperti ini; kamu melawan Allah dengan sufur dan tabarrujmu.
Alasan kesembilan. Wanita kesembilan mengatakan: “Kemampuan finansialku terbatas, sehingga aku tidak mempu mengganti baju-bajuku dengan pakaian-pakaian yang syar`i.
Kepada ukhti ini kita katakan: “Untuk mendapatkan ridha Allah dan untuk mendapatkan surga-Nya, semua yang mahalpun terasa tidak ada harganya; harta dan jiwa tidak ada nilainya. Dan ingat Allah pasti menolong hamba-hamba-Nya yang taat. Barangsiapa yang bertakwa pasti Allah berikan jalan keluar dan kemudahan.
Alasan kesepuluh. Akhirnya wanita kesepuluh mengatakan: “Saya tidak berhijab karena mengamalkan firman Allah :
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (al-Dhuha: 11)
Alasan kesepuluh: Bagaimana saya harus menyembunyikan nikmat kecantikan yang telah Allah berikan kepada saya seperti rambut yang lembut, paras yang cantik dan kulit yang indah?!
Kita katakan: Ukhti ini bersedia mengikuti firman Allah dan komitmen dengan perintah Allah, tetapai sayang selama itu sesuai dengan hawa nafsunya dan menurut pemahaman yang semaunya. Dan meninggalkan perintah-perintah dari sumber yang sama ketika tidak bernafsu kepadanya. Jika tidak mengapa tidak mematuhi perintah Allah:
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (An-Nur: 31)
Dan firman Allah swt:
يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (keseluruh tubuh mereka).” (al-Ahzab: 59)
Sesungguhnya nikmat Allah yang terbesar adalah nikmat iman dan hidayah. Lalu mengapa engkau tidak menampakkan dan memperbincangkan nikmat Allah yang terbesar ini yang diantaranya adalah hijab syar`i.
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya Allah, janganlah Engkau simpangkan hati kami ini setelah Engkau berikan hidayah kepada kami dan anugerahkanlah kepada kami dari sisi-Mu sebuah rahmat, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi.”
Semoga saudariku terinspirasi dari tulisan ini dan segera memutuskan untuk berhijab :)
Akhir kata Wabilahitaufik Walhidayah Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh